Opini

Pluralisme dan Persatuan: Modal Sosial Bangsa yang Sejati

×

Pluralisme dan Persatuan: Modal Sosial Bangsa yang Sejati

Sebarkan artikel ini

Oleh: Salihudin (Pengurus KAHMI Sulawesi Tengah)

Palu, Lintasnews5terkini.com – Tidak banyak ulama di Sulawesi Tengah yg memiliki pemahaman mendalam mengenai pluralisme, baik dalam konteks kebangsaan maupun keagamaan. Salah satu di antara sedikit tokoh itu adalah Prof. Dr. Zainal Abidin, seorang pemikir dan ulama yang tak hanya memahami teori pluralisme, tetapi juga menghidupkannya dalam praktik kehidupan sosial dan akademik.

Pandangannya menyejukkan ruang publik yang sering kali panas oleh pertentangan identitas. Dalam berbagai kesempatan, beliau menegaskan bahwa keragaman adalah kenyataan, tetapi persatuan adalah pilihan sadar yang lebih bermakna.

Keragaman (pluralitas) memang merupakan fakta yang tak bisa dibantah. Bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku, bahasa, budaya, serta agama dan keyakinan. Namun, seperti pernah dikatakan Amartya Sen—peraih Nobel Ekonomi dan pemikir etika asal India—keragaman tidak otomatis menjadi modal sosial yang memperkuat masyarakat.

Dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2006), Sen menekankan bahwa jika keragaman tidak disertai pengelolaan identitas secara inklusif, ia justru bisa menjadi sumber konflik.

Maka penting bagi kita membedakan antara “fakta pluralitas” dan “nilai persatuan”.

Banyak perdebatan publik saat ini terlalu menekankan soal keragaman sebagai fondasi bangsa, seakan-akan dengan menyebutkan fakta plural kita sudah cukup menjadi bangsa yang kuat.

Padahal, seperti yg disampaikan Benedict Anderson dalam Imagined Communities (2008), bangsa adalah konstruksi sosial yg memerlukan “imajinasi kolektif”. Imajinasi itulah yang membuat seorang Jawa di Surakarta merasa sebangsa dengan orang Kaili di Palu atau Dayak di Kalimantan, meskipun tak saling mengenal secara langsung.

Imajinasi kolektif itu tidk mungkin tumbuh hanya dari fakta keragaman, tapi justru dari narasi persatuan yang terus dibangun dan diwariskan.

Prof. Zainal Abidin memahami dengan tajam bahwa pluralisme bukan hanya pengakuan terhadap keragaman, melainkan lebih jauh adalah penghormatan aktif terhadap perbedaan.

Ini sejalan dengan pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam bukunya Islam dan Negara Sekular : Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Mizan, 2007), bahwa dalam masyarakat plural, setiap kelompok harus merasa diakui keberadaannya tanpa harus menguasai atau dikuasai. Tetapi pengakuan itu bukan tujuan akhir. Tujuannya adalah terciptanya kerja sama antar-kelompok untuk kemajuan bersama.

Di sinilah letak pentingnya modal sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Robert Putnam dalam Bowling Alone (2000), yaitu jaringan kepercayaan dan norma bersama yang memungkinkan kerja sama untuk tujuan kolektif.

Namun, dari sekian banyak pemikir Indonesia, mungkin Nurcholish Madjid—Cak Nur—adalah yang paling tajam merumuskan hubungan antara agama dan kebangsaan dalam kerangka pluralisme.

Dalam bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1999), ia menulis:

“Pluralisme adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan bersama. Dan Islam mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat yang harus dikelola dengan kebijaksanaan, bukan disikapi dengan permusuhan.”

Lebih lanjut, Cak Nur menegaskan bahwa kebangsaan bukanlah penghalang keimanan, justru menjadi medan pengabdian keimanan itu sendiri:

“Keindonesiaan kita bukanlah takdir geografis semata, melainkan juga panggilan sejarah dan moral untuk hidup damai dalam keberagaman.”

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa pluralisme bukan sekadar kondisi objektif, tapi sebuah etika publik yang menuntut partisipasi aktif dalam membangun harmoni sosial.

Kita bisa berkaca pada negara-negara lain yg lebih plural dari Indonesia—seperti India, Nigeria, atau Afrika Selatan. Keragaman mereka tidak otomatis menciptakan stabilitas. Ketika tidak ada kesadaran kolektif untuk menjaga persatuan, yang muncul adalah polarisasi, bahkan perpecahan.

Maka, bangsa ini harus lebih serius merawat nilai-nilai persatuan sebagai kekuatan utama. Sebab, keragaman tanpa persatuan ibarat orkestra tanpa konduktor—berisik, bukan harmoni.

Indonesia, melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, telah memiliki dasar ideologis yang kuat untuk menjembatani perbedaan. Namun, semboyan ini harus ditafsirkan ulang secara kontekstual agar tidak sekadar menjadi simbol.

Peran para ulama dan cendekiawan muslim seperti Prof. Zainal Abidin sangat penting dalam proses ini. Mereka menjembatani nilai-nilai keagamaan dan komitmen kebangsaan dalam satu tarikan napas.

Mari kita jaga persatuan, bukan karena kita takut akan perpecahan, tetapi karena kita sadar bahwa hanya dengan persatuan, keragaman bisa menjadi anugerah produktif.

Seperti kata Cak Nur:

“Agama adalah rahmat, dan rahmat tidak akan tumbuh dalam kebencian terhadap sesama.”

Keragaman adalah ladang, tetapi persatuan adalah air yang menyuburkannya.

Tanpa air persatuan, ladang keragaman hanya akan menjadi tanah kering yang retak oleh ego sektarian. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *