Oleh: Irham Ihsan – Ketua Sompung Lolona Cenrana
Songkok To Bone bukan sekadar penutup kepala. Ia adalah simbol kehormatan (siri’) dan identitas luhur masyarakat Bugis Bone. Dalam tradisi leluhur, songkok ini dikenakan hanya pada momen-momen sakral seperti upacara adat, penerimaan tamu agung, pernikahan adat, atau acara resmi kerajaan dan pemerintahan adat. Pemakaiannya diatur oleh norma dan tata krama yang ketat, karena ia mewakili martabat serta sejarah panjang perjuangan orang Bone.
Pada masa lalu, tidak semua orang berhak memakainya. Lingkaran emas penuh pada songkok hanya boleh digunakan oleh tokoh-tokoh tertentu, seperti Sombayyari Gowa, Petta Mangkaue di Bone, atau raja yang setara kedudukannya. Emas pada lingkaran tersebut biasanya meninggalkan jarak sekitar satu sentimeter di bagian atas tanpa balutan, sebagai penanda tingkat kehormatan tertinggi.
Kini, aturan ketat itu memang sudah tidak berlaku. Siapa pun dapat memiliki dan memakainya. Namun, kelonggaran ini bukan berarti nilai dan kehormatannya hilang. Sebaliknya, setiap orang yang mengenakannya memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga martabatnya. Songkok To Bone tetap menjadi lambang karisma, prestasi, dan jati diri pemakainya. Semakin penuh hiasan emasnya, semakin tinggi pula kehormatan dan tanggung jawab yang melekat padanya.
Sejarah mencatat, Songkok To Bone pertama kali digunakan pada masa peperangan antara Kerajaan Bone dan Tana Toraja (Tator) sebagai penanda pembeda pasukan Bone dari pasukan lawan. Dari fungsi awal yang bersifat strategis inilah kemudian lahir nilai simbolisnya—menjadi lambang persatuan, keberanian, dan harga diri orang Bone.
Sebagaimana petuah leluhur Bugis Bone:
“Siri’ na pesse’ mappasitinajang, mate riolo lettu, narekko mate siri’, mate maega.”
(Siri’ dan rasa empati harus dijunjung; lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup kehilangan kehormatan.)
Karena itu, mengenakan Songkok To Bone secara sembarangan, apalagi dalam kegiatan yang tidak mencerminkan nilai kehormatan, dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap warisan budaya.
Memungut sampah, misalnya, adalah pekerjaan yang mulia—bahkan dalam ajaran agama kita, kebersihan adalah sebagian dari iman. Namun, persoalan yang ingin ditegaskan di sini bukanlah pada mulia atau tidaknya pekerjaan tersebut, melainkan pada penempatan pemakaian Songkok Recca yang kurang tepat.
Jika penggunaan Songkok To Bone dimaksudkan sebagai wujud cinta pada budaya, tentu hal itu layak diapresiasi. Hanya saja, pemakaiannya sebaiknya disesuaikan dengan momentum dan tempat yang tepat—momen yang selaras dengan nilai siri’, kehormatan, dan sejarah yang melekat padanya. Dengan begitu, kita dapat menjaga marwah budaya sekaligus menghormati setiap pekerjaan mulia yang dilakukan, tanpa mencampuradukkan simbol adat dengan aktivitas yang berada di luar konteks sakral atau kehormatan adat.
Memakai Songkok To Bone seharusnya lahir dari rasa bangga dan kesadaran akan maknanya, bukan sekadar hiasan kepala atau atribut mode. Menghormatinya berarti menjaga harga diri, sejarah, dan warisan budaya yang telah dititipkan oleh generasi terdahulu.
Marilah kita bersama-sama menjaga dan merawat nilai luhur Songkok To Bone. Sebab, ketika simbol ini kehilangan makna karena kelalaian kita, yang hilang bukan hanya sebuah benda, tetapi juga sebagian dari jati diri kita sebagai orang Bone.